Sebelum Anak Terlanjur Cerdas

Ya, apalah artinya cerdas tanpa  amanah, santun, rajin, dan kuat. Bukankah kita tak menginginkan anak kita  menjadi seorang penipu sadis yang licik lagi pengecut.

Terlanjur cerdas?  Cerdas koq bisa terlanjur? Bukankah setiap orang mendambakan anaknya cerdas?  Apalagi kata “terlanjur”  konotasinya jelek . -suatu yang tidak  diharapkan-,  seperti; terlanjur basah, terlanjur jatuh, atau terlanjur menjadi bubur.

Anak cerdas, siapa tak mau? Tetapi itu bukan segala-galanya. Terlebih kalau ia dijadikan dasar bagi  segala pertimbangan, mengalahkan bekal-bekal hidup lainnya yang mutlak dimiliki  setiap manusia. Apalagi jika yang dimaksud cerdas itu tak lebih dari sebentuk  kemampuan menalar, memahami, dan menarik kesimpulan, atau sekedar mampu berpikir logis, menemukan dan memecahkan jawaban-jawaban matematis.
 
Bahkan sekalipun  kecerdasan itu -juga- meliputi kemampuan mengenal dan mengelola perasaan diri, yang dengannya seseorang mampu memahami kemudian merespon orang lain  melalui sikap dan tindakan. Sejenis potensi -yang menurut teori Emotional  Quotient (EQ)-nya Goleman- berupa kecerdasan emosional, yang berfungsi  mengimbangi kecerdasan intelektual !
 
Bahkan sekalipun  kecerdasan itu -juga- berupa kemampuan memahami akan nilai-nilai dan makna  kehidupan, menumbuhkan harapan-harapan serta keyakinan. Sejenis potensi -yang  menurut teori Spiritual Quotient (SQ)-nya Danah Zohar dan Ian Marshall- berupa  kecerdasan spiritual, yang berfungsi mengimbangi bahkan mengendalikan kecerdasan intelektual dan emosional sekaligus !

  • Latih Mereka Menjadi Orang Yang  Amanah
Sesungguhnya amanah dan sifat-sifat yang menyertainya, seperti jujur,  menepati janji, dan tidak khianat merupakan dasar dari segala bentuk  tanggung-jawab pada setiap pribadi -sebagai apapun dia-. Karena jujur dan  bersifat amanah adalah awal dan modal dasar bagi seseorang di dalam hidup  bermasyarakat. Untuk mengemban inilah ALLAH -Subhaanahu wa ta’alaa-  menjadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi.

إِنَّا  عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ  أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا  الْأِنْسَانُ
إِنَّهُ  كَانَ ظَلُوماً جَهُولاً (الأحزاب:72)

"Sesungguhnya, telah Kami kemukakan amanat kepada langit, bumi ,dan  gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu, khawatir akan  mengkhianatinya. Dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh" (Al Ahzab:  72)
 
Melalui ayat di atas, tampaklah bahwa Amanah -berupa keta’atan dan kejujuran- adalah sesuatu yang  ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa bebankan kepada manusia, namun manusia  menganggapnya sebagai suatu perkara yang sepele. Karena itu ALLAH Subhaanahu wa ta’ala mencap manusia sebagai makhluq yang zalim dan bodoh. Artinya, menyepelekan perkara amanah merupakan satu di antara bentuk kezaliman. Dan  seorang yang tidak amanah hanya mungkin cerdas dalam pandangan manusia, namun tidak dalam pandangan ALLAH.
 
Maka apa jadinya  kecerdasan itu jika tidak dibarengi dengan kejujuran dan sifat amanah. Bukankah  kezaliman yang ditimbulkannya akan menjadi berlipat ganda dibanding apabila tak  disertai kecerdasan. Dengan kepandaian berbicara serta mengelola mimik dan  tingkah laku secara meyakinkan -sebagaimana pemain sandiwara-, si cerdas tadi  mengelabui manusia, menciptakan berjuta alasan untuk mengingkari janji, dan  mengkhianati kepercayaan manusia kepadanya. Semua itu dengan modal  kecerdasan.
 
Maka hendaknya sejak  dini pendidikan harus mengutamakan perkara ini. Arti jujur dan amanah sudah  harus diperkenalkan sejak pertama kali anak bisa diberi sedikit pengertian,  Segala upaya dan sarana yang dapat menanamkan kejujuran dan menumbuhkan sifat  amanah harus diciptakan. Dan segala suasana dan sarana yang dapat menghantarkan  kepada sifat-sifat bohong, mungkir, dan khianat harus dihilangkan dari segala  media pendidikan.
 
Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-  bersabda:

عن أبي  هريرة، عن النبي صلى الله عليه وسلم قال:آية المنافق ثلاث: إذا حدث كذب، وإذا وعد  أخلف،
وإذا اؤتمن خان.  (البخاري)

Dari Abu Hurairah -radhiallahu anhu- , dari Nabi  -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabada: “Tanda kemunafiqan itu  tiga. Jika bicara, dusta. Jika berjanji, ingkar. Jika diamanahi, khianat.”  (HR; Al Bukhari)
 
Melalui Hadits di atas  nampak bahwa  dusta, ingkar janji, dan khianat berasal dari akar sifat yang  sama, yakni munafiq..Karena itu, jika kita mengajari anak berdusta, mengingkari  janji, dan mengkhianati amanah, artinya kita telah menanamkan sifat-sifat  munafiq pada anak.
 
Tentu saja tak ada  orang tua yang menginginkan anaknya jadi orang munafiq. Tak ada orang tua -yang  sehat- merasa atau mengaku telah mengajari anaknya berdusta, terbiasa  mengingkari janji, atau mengkhianati amanah.  Tentu saja kita semua tidak  merasa telah berbuat seperti itu.
 
Tetapi kenapa  dongeng-dongeng khayali yang kita jejali ke telinga mereka sebagai pengantar  tidurnya ? Kenapa kita biarkan mereka membaca cerita-cerita fiktif sejak pertama  sekali mereka bisa membaca ? Kenapa sandiwara dan sinetron kita biarkan menjadi  konsumsi mereka sehari-hari ? Apalagi kalau disertai harapan dapat mengambil  pelajaran atau hikmah darinya -seperti kebanyakan orang yang menganggap film  atau sandiwara bisa jadi media da’wah. Bukankah itu semua dusta ? Kalau tidak  dusta dari sisi cerita, dusta dari sisi peran. Bagaimana mungkin kita  mengajarkan nilai kejujuran lewat cara-cara dusta ?
 
Selain itu, mungkin  kita sering mengingkari apa yang kita janjikan kepada anak kita  Beli  sepeda baru, berlibur ke rumah nenek, atau tamasya ke pantai, yang berulang  kali janji tersebut harus kita perbaharui sambil tak lupa mengumbar macam-macam  alasan. Menyuruh anak -berbohong- menjawab telepon atau mengatakan kepada tamu  di depan rumah , “Papa tidak ada!“, Atau kita pernah ancam mereka,  “Awas, jangan kasih tahu Mama!“
 
Sungguh ternyata kita  sendiri lah yang telah membuat anak-anak terbiasa dengan dusta. Ya, ternyata  kita sendiri yang menginginkan -tanpa kita sadari- mereka jadi orang munafiq.  Ternyata kita sendiri yang mengajari -tanpa kita sadari- mereka suka mengingkari  janji dan mengkhianati amanah.
 
Maka tindakan yang  harus ditempuh untuk mencetak anak-anak yang jujur dan amanah adalah  meninggalkan cara-cara atau kebiasaan di atas. Selain itu perlu ditempuh  upaya-upaya berupa latihan dan pembiasaan guna menanamkan sifat jujur, menepati  janji, dan menjaga amanah. Anak perlu dilatih mengemban amanah-amanah yang mampu  ia pertanggungjawabkan. Beri kesempatan mereka berjanji dan ajarkan serta  mudahkan agar mereka mampu menunaikannya. Berikan sanksi -walaupun ringan- atas  pelanggaran janjinya. Ajarkan mereka bersikap jujur serta ceritakan kepada  mereka keutamaan bersikap jujur, tetapi bukan melalui dongeng atau cerita  fiktif. Sebab -ingat sekali lagi- mustahil menanamkan kejujuran melalui  kedustaan. Sampaikan kepada mereka kisah-kisah orang jujur serta buah dari  kejujuran, seperti kisah Ka’ab bin Malik -radhiallahu anhu-.
 
Ya, sebelum anak  terlanjur cerdas, hendaknya kita tanamkan pada diri mereka kecenderungan kepada  sifat jujur dan menjaga amanah.  Sebab, apalah artinya kecerdasan tanpa  kejujuran dan sifat amanah. Bukankah kita tidak menghendaki anak kita menjadi  orang yang pandai menipu.

  • Biasakan Mereka Bersikap  Santun
Manusia adalah makhluq  bermasyarakat yang tidak bisa hidup sendiri tanpa orang lain. Sopan-santun  merupakan sifat mulia yang dapat menimbulkan rasa tenang dan hangat di dalam  pergaulan bermasyarakat. Juga merupakan di antara sifat-sifat yang disukai ALLAH  Subhaanahu wa ta’alaa. Nabi  Shallallahu alaihi wa sallam pernah berkata  kepada Abdul Qais -radhiallahu anhu- :

“إن فيك خصلتين يحبهما الله: الحلم والأناة”.(رواه  مسلم)
“Sesungguhnya pada dirimu ada dua sifat yang dicintai ALLAH. Arif dan santun.” (HR; Muslim)
Sopan-santun adalah sifat yang membuat pemiliknya disukai oleh orang  lain, yang dengannya orang lain merasa aman dari lisan dan perbuatannya,  sebagaimana sabda Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- :

عن عامر  قال: سمعت عبد الله بن عمرو يقول:
قال النبي  صلى الله عليه وسلم: المسلم من سلم المسلمون من لسانه ويده،  (ألبخاري)
“Muslim (-yang sempurna-) adalah yang orang muslim lainnya selamat  dari lisan dan tangannya.” (HR: Al Bukhari)
 
Betapa tidak, dengannya  ia akan menjaga lisan dan perbuatannya agar tidak mengganggu atau menyakiti  orang lain. Dengannya pula ia bisa menempatkan diri di tengah lingkungannya. Ia  mampu bersikap secara tepat di hadapan orang yang lebih tua, orang yang lebih  muda, bahkan di hadapan orang-orang selayaknya dia belajar kepadanya. Dan ini  merupakan satu di antara tanda-tanda pengikut Muhammad -Shallallahu alaihi  wa sallam-, sebagaimana sabdanya:

عن عبادة  بن الصامت أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال:
ليس منا  من لم يجل كبيرنا ويرحم صغيرنا ويعرف لعالمنا
Dari Ubadah ibn Ash-Shaamit, bahwa Rasulullah -Shallallahu alaihi wa  sallam- bersabda, “Tidaklah termasuk umatku, mereka yang tidak hormat  kepada  orang-orang tua kami, tidak sayang kepada orang-orang muda kami,  dan tidak mengakui ulama-ulama kami.” (Mustadrak Al Hakim)
 
Lebih dari itu, santun  juga merupakan wujud dari kelembutan hati pemiliknya. Karena mustahil seseorang  memiliki sikap santun jika tidak memiliki kelembutan hati. Kelembutan hati lah  yang menyebabkan seseorang senantiasa berhati-hati ketika bersikap di hadapan  orang lain. Dan ini merupakan sifat yang disukai ALLAH -Subhaanahu wa  ta’alaa- , sebagaimana yang dikatakan  Nabi -Shallallahu alaihi wa  sallam- kepada Aisyah -radhiallahu anha-:

يا عائشة،  إن الله رفيق يحب الرفق في الأمر كله ( متفق عليه)
“Ya, Aisyah. Sesungguhnya ALLAH bersifat Lemah-Lembut, menyukai  kelemahlembutan di dalam segala perkara.” (Muttafaqun Alaih)
 
Disebabkan santun dan  lemah lembut lah akan terjaga persahabatan, bahkan ukhuwah (persaudaraan) dan  terlaksana tolong-menolong -”ta’awun alal birri wat taqwa“- , yang  mustahil semua itu terjadi tanpa dilandasi sifat-sifat di atas. Yakni sifat yang  dapat memperindah dan mempercantik seseorang. Sifat yang membuat sebuah pribadi  laku di dalam pergaulan. Sifat yang dengannya ia tidak hanya memikirkan dirinya  semata, bahkan senatiasa berupaya sekuat tenaga memberikan kebaikan kapada  saudaranya sebagaimana ia harapkan kebaikan itu juga berlaku baginya. Lebih dari  itu, dengan sifat tersebut ia mampu memiliki empati terhadap penderitaan  saudaranya. Perhatikanlah sabda Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- di  bawah ini:

عن أناس  بن مالك عن النبي صلىالله عليه وسلم قال: لا يؤمن أحدكم حتى يحب لأخيه ما يحب  لنفسه
“Tidak sempurna iman kalian sampai ia mencintai saudaranya  sebagaimana ia mencintai dirinya.” (HR: Al Bukhari – Muslim)
عن  النعمان بن بشير. قال:قال رسول الله صلى الله عليه وسلم :
“مثل  المؤمنين في توادهم وتراحمهم وتعاطفهم، مثل الجسد.
إذا اشتكى  منه عضو، تداعى له سائر الجسد بالسهر والحمى”.(رواه مسلم)
Dari An-Nu’man bin Basyir -radhiallahu anhu-, berkata, telah  bersabda Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- :“Perumpamaan  orang-orang mu’min di dalam cinta kasih sayangnya dan keterikatannya seperti  jasad yang satu. Apabila sakit salah satu anggota tubuhnya, maka seluruh  tubuhnya ikut merasakan sakitnya dengan panas dan demam.” (HR:  Muslim)
 
Dengan demikian, segala  upaya -sarana dan metode apa saja- yang dapat menumbuhkan sifat mulia ini harus  ditempuh. Pendidikan sejak dini harus diarahkan untuk menumbuhkan sifat-sifat  sopan-santun dan lemah-lembut. Orang tua harus memastikan sifat-sifat ini  melekat pada anaknya sebelum anaknya terlanjur cerdas. 

Do’a, dzikir, shadaqah,  menyantuni anak yatim, gotong-royong, atau menolong orang yang kesusahan adalah  di antara hal yang dapat melembutkan hati.
 
Kemudian, hendaknya  sejak kecil anak dibimbing bagaimana cara bertutur, duduk, bahkan berjalan di  hadapan orang yang lebih tua. Juga bagaimana di hadapan orang yang lebih muda.  Kesantunan dan sikap rendah hati mereka juga harus kita perhatikan manakala  mereka berjalan dan mengeluarkan suara. 

Perhatikanlah wasiat Luqman kepada  anaknya -sebagaimana yang diabadikan di dalam Al Qur’an- :

وَاقْصِدْ  فِي مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ إِنَّ أَنْكَرَ الْأَصْوَاتِ لَصَوْتُ  الْحَمِيرِ
(Artinya: “Dan sederhanalah di dalam berjalan serta rendahkan  suaramu. Karena seburuk-buruk suara adalah suara keledai.”) (Luqman:  19)
 
Di samping itu,   apa saja yang dapat menumbuhkan sifat-sifat sebaliknya, seperti  kurang-ajar, tak tahu malu, atau beringas harus dihilangkan dari segala media  pendidikan dan pemandangan mereka sehari-hari.  Perhatikanlah peringatan  Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- akan hal ini:

“ياعائشة  ارفقي؛ فإِنَّ الرِّفقَ لم يكن في شىء قطُّ إلا زانه، ولا نزع من شىءٍ قطُّ إلاّ  شانه”. (ابو داود)
“Ya, A’isyah.  Berlemahlembutlah. Karena sesungguhnya tidaklah kelembutan itu ada pada sesuatu  kecuali ia menjadi penghiasnya. Dan tidaklah kelembutan tercabut dari sesuatu  kecuali ia menjadikan sesuatu itu jelek.”
Pada kesempatan lain:

“من يحرم  الرفق يحرم الخير (رواه مسلم)
“Siapa yang terhalang untuk bersikap lembut, maka terhalang pula  baginya kebaikan.”
 
Maka untuk itu, jauhkan  dari anak penampilan sifat-sifat yang tidak baik, seperti kasar, brutal, sadis,  vulgarisme, dan sikap tak punya malu, mulai dari bacaan, tontonan, maupun  bentuk-bentuk permainan dan lingkungan pergaulan mereka. Yang kesemua itu lambat  laun akan membentuk keperibadiannya. Orang tua harus memastikan tanda-tanda dari  sifat-sifat yang tidak baik ini tak ada pada anaknya sebelum anaknya terlanjur  cerdas.
 
Ya, sebelum anak  terlanjur cerdas, hendaknya mereka telah terbiasa bersikap santun dan lemah  lembut. Sebab apalah artinya kecerdasan jika tidak dibarengi dengan pekerti  santun dan lembut hati, bahkan sekalipun anak tersebut jujur.  Bukankah  kita tak menghendaki mereka menjadi robot;  cerdas, jujur, kaku, dingin, dan berpotensi menjadi sadis!!!
  • Didik Mereka Untuk  Rajin
Rajin merupakan satu  sifat yang sangat dipuji dalam is-lam. Rasulullah -Shallallahu alaihi wa  sallam- di dalam berbagai ungkapan menjelaskan akan keutamaannya . Di  antara lain ucapannya -Shallallahu alaihi wa sallam- adalah:
عن أبي  هريرة ؛ قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول:
“لأن يغدو أحدكم فيحطب  على ظهره، فيتصدق به ويستغني به من الناس، خير له من أن يسأل رجلا،  
أعطاه أو منعه ذلك. فإن اليد العليا أفضل من اليد السفلى. وابدأ بمن  تعول”. (رواه مسلم)
Dari Abu Hurairah -radhiallahu anhu-, berkata: Aku telah  mendangar Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda:  “Sungguh seorang di antara kalian berangkat ke luar  mengikat kayu di  atas punggungnya dan bersedakah dengannya serta menjaga diri dari manusia itu  lebih baik dari pada meminta-minta, diberi ataupun tidak. Karena sesungguhnya  tangan yang di atas lebih utama dari pada tangan yang di bawah.  Dan  mulailah dari yang menjadi tanggunganmu.” (HR: Muslim)


عن أبي  هريرة قال وقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: كان داود لا يأكل إلا من عمل  يده
“Sesungguhnya Daud -Alaihissalaam- tidak makan kecuali dari hasil  karya tangannya” (HR: Bukhari)
 
Ungkapan di atas -dan  masih banyak lagi yang sema’na- menunjukkan betapa sifat rajin sangat ditekankan  di dalam islam. Syari’at diadakan tidak lain untuk memelihara lima hal.  Memelihara agama, aqal, kehormatan, darah, dan harta. Dan rajin merupakan di  antara sifat yang harus dimiliki demi menjaga kehormatan diri. Dengan  sifat rajin pulalah seorang menjadi pribadi yang berguna bagi diri dan  sekitarnya, bukan menjadi cela bagi diri dan beban bagi orang di  sekitarnya.
 
Maka hendaknya segala  sarana dan metode yang dapat menumbuhkan sifat rajin pada anak harus diupayakan.  Melatih anak untuk bangun pagi, merapihkan kamar tidur, membersihkan kamar  mandi, menyapu ruangan, teras, dan halaman, semua itu merupakan upaya pertama  yang harus dilakukan untuk membiasakan anak bekerja dan menumbuhkan sifat rajin.  Ketika sampai usia belajar, maka hendaknya dahulukan mengajar mereka menulis  sebelum membaca. Biarkan anak belajar membaca dari apa yang dia tulis, karena  menulis itu sifatnya aktif sedang membaca pasif. Perhatikan perkembangan  kemampuan psikomotorik-nya untuk mengimbangi kemampuan kognitif-nya. Ajarkan  pula mereka, misalnya, terbiasa mengolah barang-barang bekas sebelum mengambil keputusan untuk membeli yang baru.
 
Sebaliknya, segala  penyebab, sarana, dan metode yang dapat menumbuhkan sifat malas pada anak harus  ditiadakan atau dijauhkan dari anak. Malas  -selain produk sistim sosial-  asalnya adalah masalah fisik -seperti terlalu lemahnya tubuh untuk bergerak atau  melakukan satu pekerjaan-. Namun jika tidak segera diambil tindakan ia berubah  menjadi masalah mental. Karenanya, orang tua harus memperhatikan pertumbuhan  fisik anak dan perkembangan motorik atau keterampilannya. Sudahkah gizi yang  dibutuhkan bagi pertumbuhannya tercukupi? Apakah ia terlalu kurus atau gemuk untuk umurnya? Proporsionalkah berat badan dengan tingginya? Apakah ia sudah  bisa menjaga keseimbangan tubuhnya? Cukup lincahkah gerakannya? Bagaimana  akurasi gerak atau bidikannya? Bagaimana kecepatan geraknya? Bagaimana kekuatan tenaganya? Bagaimana ketahanan tubuhnya, baik ketika menahan beban maupun  ketika menahan lelah? Keseluruhan masalah di atas -meski tidak selalu- sedikit  banyak berpengaruh terhadap mentalnya.
 
Ulangi sering-sering  sabda Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- berikut ini:

“المؤمن  القوي خير وأحب إلى الله من المؤمن الضعيف. وفي كل خير.
احرص على ما ينفعك واستعن بالله. ولا تعجز… (رواه  مسلم)
Mu’min yang kuat lebih baik dan lebih dicintai ALLAH ketimbang mu’min  yang lemah. Dan pada seluruhnya ada kebaikan. Bersungguh-sungguhlah di dalam hal  yang mendatangkan manfa’at bagimu, serta mohonlah pertolongan kepada ALLAH dan  jangan merasa lemah…. (HR; Muslim)
 
Karenanya, segala  bentuk kamuflase, dari kemalasan -ngamen misalnya-, atau main kartu,  dadu, dan segala bentuk permainan yang menghabiskan waktu tidak boleh kita  biarkan dilihat oleh anak kita kecuali kita jelaskan kepada mereka, “Itu  orang malas! Itu pekerjaan orang malas !” Karena sesungguhnya,  melalui kamufalse kemalasan yang sering mereka lihat lah kemalasan -sadar atau  tidak disadari- menemukan pembenaran teorits, bahkan filosofisnya. Dan sifat licik merupakan hasil kombinasi cerdas dengan malas.
 
Kemudian,  jangan  dikira bahwa malas itu sekedar masalah mental. Malas juga bisa menjadi masalah  keyakinan. Sebagaimana hasad (dengki) mengurangi kesempurnaan iman akan  Taqdir, begitu pula dengan malas. Ketahuilah, bahwa sifat rajin akan menumbuhkan  optimisme, dan optimisme adalah bagian dari wujud husnudz-dzonn billah  (berbaik sangka kepada ALLAH). Maka, sebaliknya, malas  akan menumbuhkan  pesimisme, dan pesimisme adalah bagian dari wujud su’udz-dzon billah  (berburuk sangka kepada ALLAH). Padahal Nabi -Shallallahu alaihi wa  sallam- telah berwasiat::


“لا يموتن أحدكم إلا وهو يحسن الظن بالله عز  وجل“.
“Jangan kalian mati, kecuali di dalam keadaan berbaik sangka kepada  ALLAH.” (HR:Muslim dari Jabir bin Abdillah -radhiallahu  anhu-)
 
Lebih dari itu, malas  pulalah di antara  -selain ilmu dan keyakinan- yang menyebabkan manusia   -karena ingin menempuh jalan pintas- terjerumus ke dalam judi, lottre,  bahkan ke dalam berbagai bentuk kesyirikan, seperti meminta kekayaan kepada  kuburan, pohon, atau benda mati lainnya.
 
Ya, sebelum anak  terlanjur cerdas, hendaknya mereka sudah terbiasa hidup rajin. Sebab, apalah  jadinya jika anak terlanjur cerdas, sementara ia terbiasa dikuasai perasaan  malasnya. Bukankah kita tidak menghandaki mereka menjadi orang yang  licik.

  • Bina Mereka Menjadi Pribadi Yang  Kuat
Badan yang kuat lebih  berdaya guna ketimbang badan yang lemah. Dengan kekuatan bukan saja seseorang  mampu menopang dirinya, bahkan mampu menolong orang lain. Dengan kekuatan  seseorang mampu berlari dan melompat. Dengan kekuatan seseorang mampu memanggul  beban di punggungnya atau bertahan melawan dorongan arus. Dengan kekuatan  pulalah seseorang mampu menghadapi cuaca buruk dan memiliki kekebalan untuk  melawan penyakit.
 
Maka demikian pula jiwa  yang kuat. islam memuji sifat kuat dan mengaitkannya dengan sabar. Kuat, sabar,  atau tabah merupakan modal di dalam mengarungi kehidupan -yang memerlukan  perjuangan dan penuh dengan cobaan-.   Dengannya ia lebih berdaya  guna, bermanfaat bagi orang lain, bersemangat dan kreatif, mampu memikul  tanggung jawab dan berpendirian, serta mampu beradaptasi dan menetralisir  perasaan dirinya. Karenanya,  Rasulullah -Shallallahu alaihi wa  sallam- mengajari kita memaknai kekuatan dengan kesabaran dan kemampuan  mengendalikan hawa nafsu, sebagaimana sabdanya:

عن أبي  هريرة رضي الله عنه:أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال:
ليس  الشديد بالصرعة، إنما الشديد الذي يملك نفسه عند  الغضب.(البخاري)
Dari Abu Hurairah -radhiallahu anhu-, bahwasanya Rasulullah  -Shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda: “Bukanlah yang  dikatakan kuat itu jago gulat. Akan tetapi yang dikatakan kuat adalah yang mampu  menguasai hawa-nafsunya ketika marah.” (HR: Al Bukhari)
 
Ya, dengan kesabaran  akan lahir berbagai macam kebaikan. Manusia menjadi semakin kuat kemauannya,  semakin tegar menghadapi tantangan, serta semakin tenang menghadapi ujian dan  cobaan. Maka, upaya dan metode apa saja yang dapat melahirkan serta menumbuhkan  kepribadian yang kuat dan sabar harus diciptakan. Perkara kuat dan sabar sudah  harus mulai diajarkan ma’nanya dan ditanamkan kepada anak sedini mungkin.  Pendidikan harus menjadikannya sebagai program dasar pembinaan sebelum yang  lainnya. 
Perhatikan bagaimana Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-  mengajarkan beberapa kalimat kepada Ibnu Abbas -radhiallahu anhu- ,  yang ketika itu usianya belum mencapai sepuluh tahun:
 
“…. Ketahuilah. Bahwa seandainya seluruh manusia bersatu ingin memberikan manfa’at kepadamu, mereka tak akan mampu melakukannya lebih dari yang  telah ALLAH tetapkan bagimu. Dan seandainya mereka bersatu ingin mencelakakanmu,  mereka tak akan mampu melakukannya lebih dari yang telah ALLAH tetapkan atas  mu….” (HR: At-Tirmidzi dari Ibnu Abbas -radhiallahu  anhu-)
 
“…Ketahuilah. Bahwa pertolongan ALLAH datang melalui kesabaran, bersama perjuangan ada pengorbanan, dan bersama kesulitan ada kemudahan…”
 
Sebaliknya, segala  sarana dan metode yang akan membentuk kepribadian cengeng, mudah marah, mudah  patah semangat, dan mudah putus asa harus dihilangkan dari media pendidikan kita. Karena sesungguhnya seluruh sifat-sifat tersebut bersumber dari yang satu, lemah. Anak yang gampang menangis sebetulnya sama dengan anak yang  gampang marah. Kemasannya saja yang berbeda, tetapi hakekatnya sama, lemahnya  jiwa. Maka, jangan biarkan anak kita mengkonsumsi hal-hal yang melemahkan jiwanya, berupa sya’ir atau lagu-lagu cengeng, serta novel atau film-film picisan. Jangan biarkan anak terbiasa memanjakan perasaannya.
 
Ajarkan kepada mereka  nilai-nilai kesatriaan, kesabaran dan ketangguhan yang diambil dari kisah para  Nabi -alaihimussallam-, para Sahabat Nabi -radhiallahu anhum-,  atau para Ulama dan Mujahid -rahimahumullah-, dan jangan sekali-kali  lewat dongeng atau cerita fiktif. Jangan berlebihan memberikan perlindungan pada  mereka. Biarkan mereka melatih diri menyelesaikan persoalan-persoalan mereka,  baik di dalam menghadapi tantangan masalah, maupun terhadap teman-teman sebayanya. Jangan terlalu cepat memenuhi permintaan mereka, seandainya tidak mendesak. Jika mereka minta 10, berikan 5. Jika mereka minta sekarang, berikan nanti. Ajari mereka bersabar manakala tidak terpenuhi permintaannya. Atau masih banyak lagi cara dan kesempatan untuk melatih kesabaran dan kekuatan mereka.
 
Ya, sebelum anak  terlanjur cerdas, hendaknya mereka telah terlatih bersabar serta memiliki jiwa yang kuat. Lemah akan menjadikan mereka mudah dipengaruhi orang serta gampang  lari dari tanggung jawab. Apalah artinya kecerdasan jika tidak diiringi sifat  kuat dan sabar. Bukankah kita tidak menghendaki anak kita menjadi orang yang  pengecut, karena ternyata pengecut itu merupakan kombinasi cerdas dengan  lemah.
 
Ya, apalah artinya  cerdas tanpa amanah, santun, rajin, dan kuat. Bukankah kita tak menginginkan anak kita menjadi seorang penipu sadis yang licik lagi pengecut.

Oleh : Abu Khaulah Zainal Abidin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar